Rabu, 20 April 2011

Pemimpin: Yang dicari, Yang dimaki

 Mencari pemimpin yang memiliki
visi dan praktik kepemimpinan
yang baik begitu sulit. 
Yang sering dijumpai 
malah pemimpin 
yang di maki dan di hujat
ebingungan dan ketidakpastian melanda kaum muslimin yang sedang berkumpul di Tsaqifah Bani Saidah. Wafatnya Rasululullah saw. melahirkan tanda tanya di benak mereka, tentang siapa yang layak menggantikannya sebagai pemimpin agama, negara dan masyarakat. Aroma perpecahan talk ayal mulai tercium, ketika pihak Muhajirin dan Anshar mulai mengelus-elus jagonya untuk menjadi khalifah. Situasi panas baru mereda, ketika Abu Bakar dan Umar datang menghampiri mereka. Penjelasan bijak Abu Bakar dan tutur katanya yang lemah lembut akhirnya mampu menghentikan kekisruhan yang bisa jadi terns memuncak. la pun dibaiat sebagai khalifah pertama dalam sejarah Khulafaur Rasyidin.
Dapat dikatakan, peristiwa di Tsagifah Bani Saidah adalah krisis kepemimpinan pertama yang dihadapi umat Islam. Meski krisis itu akhirnya bias diselesaikan secara elegan dan tanpa ptumpahan darah. Patut dicatat bahwa peristiwa itu juga menggambarkan kepedulian umat tentang urgensi kehadiran pemimpin di tengah-tengah mereka.
Masa itu, kesadaran bahwa kehadiran seorang pemimpin adalah sunnatullah, begitu kuat melekat. Ditambah lagi, kader-kader pemimpin yang memiliki integritas teruji dan kapabilitas yang baik cukup tersedia. Tak heran jika masa itu dijuluki sebagai masa yang terbaik (HR Bukhari). Pada episode-episode sejarah selanjutnya, kepemim¬pinan dalam masyarakat muslim berlangsung pasang surut, antara keadilan dan kebobrokan. Sering gemilang, terkadang juga dilanda krisis.
Krisis kepemimpinan dapat terjadi karena banyak hal, diantaranya masyarakat merasa tidak memiliki pemimpin yang dapat diharapkan. Karakter-karakter umum pemimpin yang ideal seperti memiliki visi dan komitmen pada visinya, kompetensi, integritas, kejujuran, kesediaan mendengar dan menerima kritik dan kesediaan untuk terns belajar, sulit didapat. Sebab penting lainnya adalah, kurangnya kontrol masyarakat terhadap kinerja dan perilaku para pemimpin sehingga makin memperparah situasi krisis.
Struktur masyarakat yang lemah dan tidak memiliki kontrol yang baik terhadap pemerintahnya mengakibatkan krisis kepemimpinan makin akut dan berlangsung lama. Kultur kepatuhan dan ABS (Asal Bapak Senang) menjadikan kemunkaran seolah-olah terlegalisasi dengan sikap diam dan lemah masyarakat bersangkutan. sebagai contoh, berlangsungnya kezaliman dalam jangka waktu lama dalam masyarakat Mesiryang dipimpin Fir'aun bukan semata akibat arogansi sosok yang mem¬proklamirkan diri sebagai tuhan itu. Masyarakat Bani Israil, juga turut memberi kontribusi dengan sikap diamnya, mengalah dan kerelaan untuk dizalimi oleh pemimpinnya. Bukankah fitnah itu tidak hanya mengenai pelaku-pelaku kezaliman itu sendiri? "Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu, " (QS al-Anfal:25)
Terjadinya krisis kepemimpinan di tengah¬tengah umat dimulai dari berubahnya persepsi yang benar tentang kepemimpinan. Kuatnya ceng¬kraman budaya dan praktik-praktik kepemimpinan kotor yang disaksikan sehari-hari, membuat orang mulai nrimo terhadap kemunkaran dan kezaliman. Pemimpin yang sejatinya adalah pelayan bagi umat, malah berubah menjadi tiran yang berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Kekuasaan yang semestinya mengharuskan dirinya melayani rakyat, justru dijadikan sarana untuk memaksakan kehendak dan kepentingan pribadinya. Persepsi ini, yang dianut oleh seorang pemimpin sadar atau tidak, melahirkan arogansi dan perasaan lebih ting¬gi dari orang lain, sehingga menurutnya, dirinya la-yak mendapat hak dan perlakuan istimewa diban¬ding rakyatnya. Wajar jika kepatuhan yang muncul adalah kepatuhan yang dilandasi rasa takut dan keterpaksaan. Bukan kepatuhan yang dilandasi oleh kewajiban untuk taat, kecintaan dan niat baik.
Keadaannya berbeda pada masa Khulafaur Rasyidin. Kepatuhan para sahabat terhadap pe¬mimpin, dilatari oleh kesadaran untuk taat yang sela¬ras dengan pesan al-Qur'an, "Hai orang-orang bed-man, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu, " (QS an-Nisa':59). sikap ini dipadu dengan kecintaan terhadap pe¬mimpin mereka yang memang memiliki karakter¬karakter terpuji dan layak dicontoh.
Terpilihnya sosok Abu Bakar sebagai khalifah tak lepas dari sifat-sifatnya yang cinta pada kebenaran, berani, teguh pendirian, sederhana dan yang utama adalah keteguhan iman. Suatu ketika beliau menangis dalam ibadahnya. Di lain kesem¬patan beliau "garang", ketika memerintahkan pe¬rang terhadap kaum pembangkang zakat. Temi Allah, meskipun mereka menolak membayar se¬utas tali yang dulu pernah dibayarkan di masa Rasulullah saw, aku akan tetap memerangi mereka," perintah Khalifah yang bergelar "Ash¬Shiddiq" ini. Sebuah perpaduan antara ketakwaan, ketawadhuan dan keberanian.
Perpaduan "romantis" ini, diwarnai dengan kebersahajaan yang tidak dibuat-buat. Sehari setelah dilantik sebagai Amirul Mukminin, Abu Bakar tetap memanggul bungkusan kain untuk dijual di pasar. la barn menghentikan profesinya setelah Umar bin Khatthab mencegahnya dan memintanya berkonsentrasi pada jabatannya. Sekadar menu-tupi biaya hidup keluarganya, Abu Bakar mendapat bantuan sekadarnya dari Baitul Maal. Menjelang wafatnya, is mengembalikan kelebihar, yang diper¬olehnya sejak diangkat sebagai khalifah. Kelebihan harta itu berupa seekor keledai pengangkut air, sebuah tong besar tempat memerah susu dan sehelai baju yang biasa dipakai untuk menerima utusan. Umar yang tak sanggup menahan air matanya berkata, "Semoga Allah memberi rahmat pada Abu Bakar. Sungguh is telah Tnemberatkan' orang-orang (para pemimpin) pada masa selanjutnya."
Keberhasilan Abu Bakar tak lepas dari bim¬bingan guru dan sahabatnya, Rasulullah saw. Ke¬mampuannya dalam menata masyarakat muslim yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan di bawah panji-panji Tauhid dalam waktu yang sangat singkat, mencengangkan banyak orang. Karakter kepemimpinan Rasul saw yang kuat dipadu dengan kemuliaan ajarannya terbukti mampu mewujudkan visi dan dakwahnya ke tengah-tengah masyarakat jahiliyah kala itu. "Jika kita mengukur kebesaran dengan pengaruh, dig (Muhammad) se¬orang raksasa sejarah. la berjuang meningkatkan tahap rohaniah dan moral suatu bangsa tanpa tenggelam dalam kebiadaban karena pangs dan kegersangan gurun," tulis Will Durant dalam Story of Civilization.
Karenanya, kepemimpinan membutuhkan arahan dan latihan sejak dini yang bisa didapatkan melalui bimbingan orangtua, keluarga dan lingkungan sekitar. Kesadaran bahwa setiap orang adalah pemimpin dan karenanya memiliki tanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya, harus ditumbuhkan mulai dari kanak-kanak. "Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap apa yangdipimpinnya," sabda Rasululullah saw dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari. Hal ini dapat dimulai dengan mengasah ketajaman karakter-karakter pemimpin pada diri setiap muslim, seperti keteladanan, keadilan, sifat amanah, kesederhanaan, pemaaf, kebesaran jiwa, dan lainnya. Hanya dengan latihan dan pembiasaan, karakter pemimpin yang balk dapat ditumbuhkan dalam diri setiap muslim.
Berbagai persoalan yang kini menimpa umat di berbagai lapangan kehidupan berakar dari hilangnya "Visi dan Karakter Kepemimpinan Islami" dalam diri para pemimpin umat. Kepemimpinan yang semestinya cipahami sebagai amanah, malah dirasakan sebagai kekuasaan. Pemimpin yang semestinya menjadi pelayan, berubah menjadi penguasa yang menindas dan mengatur seenak perutnya. Kezaliman dan pengkhianatan akhirnya dirasakan hanya sebagai kealpaan kecil yang harus dimaafkan dalam kultur masyarakat muslim. Betapa pun, melahirkan pemimpin-pmimpin yang memiliki kematangan visi, komitmen, integritas pribadi teruji dan kapabilitas mumpuni, dari rahim umat adalah kewajiban kita semua.
Hal ini bisa dimulai dari masing-masing pribadi muslim dengan jalan menegakkan koreksi dan kontrol positif (amar ma'ruf nahi munkar) terhadap diri, keluarga dan masyarakat. Visi dan nilai kemimpinan ideal yang bersumber dari praktik-praktik kepemimpinan Rasulullah saw dan para sahabat, harus terns digali, disebarkan dan ditradisikan agar menjadi isu kuat dalam kancah kepemimpinan masyarakat. Ajaran kepemimpinan ini adalah kekayaan (turats) umat yang bisa ditemukan dalam berbagai literatur sirah, seperti Tarikh Thabary, Sirah Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, can lainnya. Akhirnya, "Mulailah dari diri sendiri," seperti kata Rasulullah saw (HR.Bukhari). Pesan ini dapat dirasakan kedalaman maknanya jika kita memahami bahwa sebuah bangunan raksasa adalah kumpulan bata-bata kokoh yang tersusun dengan balk dan cermat. Dan, kitalah bata-bata itu.
Oleh : M. Nurkholis Ridwan
Sabili: No.03 Th. X 22 Agustus 2002/ 13 Jumadil Akhir 1423