Rabu, 20 April 2011

Amanat dan Keadilan

"Sesungguhnya Allah memerintahkan
kalian menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan jika kalian
memutuskan hukum, maka hendaknya
berlaku adil, sesungguhnya Allah Maha
Mendengar dan Maha Melihat,
(QS an-Nisa: 58).
Ayat di atas turun sehubungan dengan kasus Utsman bin Thalhah. Saat Rasulullah saw berhasil membebaskan Makkah (Fathu Makkah) beliau memanggil Utsman bin Thalhah¬memegang kunci Ka'bah-untuk menyerahkan kunci itu kepada Rasulullah saw. Tetapi Utsman mengurungkan niatnya, lantaran mengetahui Abbas (paman Rasul) menginginkannya juga. Baginya menjadi pemegang kunci Ka'bah menjadi kebanggaan tersendiri. Untuk kedua kalinya Rasulullah memintanya kembali seraya meya¬kinkannnya dengan kata-kata bijak. Utsman pun akhirnya bersedia memberikannya, seraya berkata, "Peliharalah amanat Allah."
Tak lama kemudian Rasulullah membuka pintu Ka'bah dan memasukinya. Di dalamnya beliau melihat patung Nabi Ibrahim as, segera beliau menghancurkannya seraya. bersabda, "Celakalah orang-orang musyrikin. Wahai sekalian manusia, ini adalah kiblat kits." Setelah itu beliaL keluar dan melakukan thawaf satu atau dua kal putaran. Pads saat itulah turun malaikat Jibri membawa pesan Ilahi; agar Nabi menyerahkan kembali kunci Ka'bah kepada Utsman. Beliau membacakan ayat 58 Surat an-Nisa (Ibnu Katsir 1/ 489 dan Fathul Qodir 11480).
Menurut para mufassir, ayat tersebut berkaitan dengan perintah Allah kepada orang beriman untuk menjaga dan menyampaikan amanat serta berlaku adil dalam menegakkan supremasi hukum. Sebagian mufassir dari kalangan sahabat mengatakan bahwa ayat tersebut berkaitan erat dengan para pemimpin dan penegak hukum (Ibnu Katsir 11489). Pendapat senada juga diutarakan Sayyid Qutub. Pesan-pesan dalam ayat tersebut sarat dengan kandungan kewajiban syar'i dan akhlak mulia bagi segenap umat Islam, yakni menjaga dan menyampaikan amanat serta menegakkan hukum secara adil, berdasarkan sistem dan ajaran Allah SWT (Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an 21688).
"Amanat dan keadilan" adalah dua kata yang kerap kali didengar dan dikumandangkan, karena mengandung nilai universal dan realisasinya didambakan umat manusia sepanjang zaman. Ada perbedaan signifikan mengenai amanat dan keadilan dalam paradigms Islam. Amanat dan keadilan bukan sekadar kehendak dan aspirasi umat, tetapi kehendak dan perintah Allah SWT Artinya, lebih dari sekadar legitimasi konstitusional. Bahkan, amanat dan keadilan merupakan syadat ilahiah. Pertanggungjawabannya pun tidak sebatas konstitusi, tetapi masuk dalam pengadilan Allah SWT. Karenanya, menyampaikan amanat dan menegakkan hukum secara adil menjadi nilai ibadah, selain berdampak positif bagi pelakunya di dunia dan akhirat. Para pelaksananya mem¬peroleh penghargaan di dunia dari masyarakat, sebagaimana is akan memperoleh pahala ber¬lipat ganda dari Allah SWT di akhirat kelak. Rasulullah saw mengatakan, 'Tujuh orang yang akan mendapat perlindungan Allah pada hari yang talk ada perlindungan selain dari Allah, di antaranya pemimpin yang adil," (HP Bukhari Muslim).
Amanat dalam ayat di atas bersifat integral dan komprehensif. Karena itulah diungkap dalam bentuk jamak (plural). Dikatakan integral, karena cakupannya meliputi amanat yang lugs, yakni amanat menjalankan kewajiban agama dalam berbagai dimensi, amanat menjaga barang titipan, nasihat untuk para pemimpin, mengarahkan rakyat, mendidik generasi, membina keluarga, menjaga citra dan nama baik jamaah, memelihara harta kekayaan dan rahasia negara, dan sebagainya (Fi Zhilal al-Qur'an 2/688-689). Sedang dikatakan komprehensif, karena pelaksanaan amanat itu sendiri bersifat fleksibel.
Allah menegaskan, bahwa menegakkan supremasi hukum secara adil tidak dibatasi unsur rasialisme. Artinya, bukan hanya untuk umat Islam saja, tidak terbatas untuk ahli kitab semata, tetapi realisasi keadilan harus merata bagi umat manusia. Demikian jelas Allah mengaitkan keadilan dengan persamaan antara kelompok sosial, tanpa membeda-bedakan status sosial. Karena itu, tidak dikenal dalam masyarakat Islam, istilah "kaum agamawan", apalagi "feodalisme". Keterkaitan tersebut bukan sekadar konsep-konsep teoritis belaka, tetapi merupakan bukti konkret dalam sikap dan perilaku generasi Islam militan pertama.
Sejarah telah membuktikan, bahwa vonis potong tangan pernah dijatuhkan kepada wanita terpandang di masa Nabi, yaitu Fathimah al Makhzumiyah. Dalam hal ini, Usamah bin Zaid as pernah dimintakan untuk menjadi juru bicara kepada Rasulullah saw supaya melakukan pengajuan grasi. Kepada Usamah, Rasulullah saw pun berkata tegas, 'Apakah engkau mem¬bantu seseorang dalam hukum ketentuan Allah (hudud), sungguh orang-orang sebelum kamu dibinasakan karena mereka membiarkan orang¬orang terhormat dari mereka dalam kasus-kasus pencurian (korupsi), tetapi jika rakyat mencuri mereka tegakkan hukum. Demi Allah, jika Fathimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan saga potong tangannya," (HR Bukhori 5/6).
Kalau pada awal ayat, amanat dan keadilan dinyatakan dengan kata amar(perintah), lain halnya dengan penutup ayat yang mengandung mau'izhah (nasihat). Hikmahnya adalah, bahwa dengan nasihat dan bimbingan dari Allah diharapkan amanat dan keadilan dapat dilak¬sanakan dengan lapang dada dan ketulusan hati (Fi Zhilal al-Qur'an 2/690).
Selanjutnya, Allah mengakhiri ayat ini dengan dua karakteristik dan asma Allah 'Sami'an Bashirari. Artinya, Allah Maha Mendengar segala yang diucapkan, Maha Mengetahui segala hasil keputusan hukum secara tidak adil, dan Maha Melihat bagaimana umat ini menyikapi amanat atau hukum yang kalian tegakkan. Tidak ada yang tersembunyi bagi Allah, semuanya tercatat pada¬Nya, sehingga Dia memberikan balasan kebaikan bagi orang yang baik dan memberikan balasan keburukan bagi yang melakukan keburukan (Ath¬Thabari 4/203 dan tafsir Ibnu Katsir 1/489).
Seyogyanya, kandungan ayat ini dijadikan pencerahan bagi setiap kita dalam menjalani hidup beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan sikap santun dan nilai-nilai moral religius. Sebab krisis multidimensi yang melanda bangsa dan negara ini dapat dise¬lesaikan manakala seluruh elemen bertekad untuk menjalankan proses reformasi itu dengan sebaik¬baiknya (dalam pengertian 'ishlah'), sebagaimana firman Allah mengatakan, 'Allah tidak akan membinasakan suatu negeri lantaran kezaliman, jika penduduk negeri itu menjadi para reformis (mushlihonl' (QS Hud: 117). Wallahu a1am bishshawab.
Pesan untuk Para Pemimpin
dan Penegak Hukum
Bersama:
DR. HM Idris A. Shomad, MA
Dosen Pascasarjana WIN
Syarif Hidayatullah Jakarta